Para pengusaha yang tergabung dalam Indonesia Mobile & Online Content Provider Association (IMOCA) menilai, Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten akan membuat industri konten semakin tertekan.

IMOCA menggelar pertemuan untuk membahas dampak penetapan peraturan tersebut terhadap mereka, di Hotel Sultan Jakarta, Kamis, (13/12/2012).

Sekjen IMOCA, Ferrij Lumoring mengatakan, akibat adanya Black October keadaan menjadi semakin tidak lebih baik karena Surat Edaran BRTI Nomor 177/BRTI/IX/2011 yang terlalu berlebihan. Ini menyebabkan massa harus meng-unreg semua content provider (CP).

“Sekarang member CP IMOCA saja tersisa sekitar 49 member, dari anggota awalnya sebanyak 79,” kata Ferrij lagi. Ia juga menilai RPM tersebut juga tidak efektif karena dibuat setelah kejadian buruk terjadi.

RPM tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten merupakan revisi terhadap Peraturan Menkominfo No. 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (Short Messaging Service/SMS) ke Banyak Tujuan (Broadcast).

“Dibutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk revisi. Ide kreatif itu dapat dihasilkan dalam hitungan hari, sementara peraturan dihasilkan dalam hitungan tahun. Apakah itu mampu meng-cover?,” tambahnya.

Menurutnya, seharusnya pemerintah membuat pemberdayaan kode etik yang bisa menjaga industri konten. Tapi faktanya, RPM tersebut justru lebih banyak yang mengatur kewajiban CP.

“Semua CP, CP, CP. Yang harusnya diatur itu telko atau operator,” tegas Ferrij.

Ferrij mengatakan harus dibuat peraturan tersendiri agar perkembangan industri content provider ke depannya lebih baik. Karena yang tahu peraturan kreatifitas sebuah konten adalah CP, jadi si pembuat peraturan seharusnya CP bukan pemerintah.

“Kreatifitas itu tak ada batasnya. Lalu aturan itu bukan soal kontrol, tetapi mencari cara tetap untuk mengimplementasikan cara ini (berkreatifitas), yakni dengan self-regulated for healthy mobile content industry,” rincinya. (Tnt/dew)