DPR dan Menkominfo sepakat aksi penipuan dan pencurian pulsa merupakan perbuatan pidana.
Aksi penipuan dan pencurian pulsa banyak dikecam. Belakangan, pengusaha merasa terganggu dengan kasus penipuan dan pencurian pulsa melalui SMS. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) khawatir kasus seperti itu menggangu perkembangan industri kreatif aplikasi dan konten. Kadin menduga praktik penipuan dan pencurian pulsa murni dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab, tapi berimbas pada pelaku industri resmi.
Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto mengatakan pihaknya bersama IMOCA (Indonesian Mobile and Online Content Association) dan ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) bekerja sama untuk merumuskan solusi dalam menjawab polemik penipuan dan pencurian pulsa yang marak terjadi belakangan. “Hal ini demi melindungi konsumen dan menjaga kelangsungan hidup industri konten dan aplikasi,” ujarnya, Senin (10/10).
Bambang berharap ramainya isu pencurian pulsa tidak sampai merugikan sektor industri. Kadin sendiri telah membuat tiga kategori terkait masalah penipuan dan pencurian pulsa lewat SMS. Pertama, SMS ‘Mama Minta Pulsa’ yang tak terkait penyelenggaran konten. Menurutnya, hal ini jelas-jelas penipuan.
Kedua, SMS Kredit Tanpa Agunan. Konten SMS semacam ini memang dikirim dari pihak yang tidak terkait dengan penyelenggara telekomunikasi dan konten, namun, kata Bambang, ini masih dianggap ATSI bukanlah praktik penipuan. Ketiga, kategori SMS premium yang merupakan kerjasama antara penyelenggara telekomunikasi dan konten. Menurutnya, layanan ini terikat dengan perjanjian kerjasama kedua belah pihak.
“Sehingga tidak ada kebijakan untuk mengambil pulsa dengan cara menipu atau mencuri,” tuturnya.
Ketua Komite Tetap Kadin bidang Pendukung Aplikasi dan Konten, Yusuf K Hasnoputro, menambahkan meski pihak ATSI dan IMOCA mengaku ada keluhan masyarakat terkait keluhan tak merasa mendaftar masuk dalam SMS premium, namun mereka mengikuti instruksi masuk dalam SMS premium yang secara langsung akan memangkas pulsa pengguna.
“Menyikapi hal ini ATSI dan IMOCA menyadari dan setuju untuk meningkatkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada pelanggan secara terus menerus agar pelanggan tidak merasa terjebak,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, David Tobing selaku konsumen kartu HALO menggugat Telkomsel yang merupakan penerbit kartu tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Awal kekesalan David terjadi pada Sabtu 16 Juli 2011. Saat itu ia menerima SMS dari Telkomsel yang berbunyi: “Terimakasih anda berlangganan Opera Mini Rp10.000/7hari. Syarat/Ketentuan berlaku hub *363# Untuk stop ketik OP OFF ke 3636. Download klik http://mini.opera.com”. Dia mengaku kaget menerima SMS itu. Padahal, dirinya tak pernah berlangganan Opera Mini di telepon Blackberry–nya.
Secara konsisten tiap minggunya pulsa David diambil Rp10 ribu. Hal ini dia lihat dari daftar informasi biaya tagihan telepon kartu HALO yang diterimanya tiap bulan. Sampai gugatan dilayangkan setidaknya pulsa David dipotong sebanyak sembilan kali.
Menurut David, tindakan Telkomsel yang telah melakukan penawaran, pengikatan sepihak fasilitas layanan Opera Mini, memperpanjang secara otomatis waktu langganan serta melakukan penarikan atau penagihan atas penggunaan fasilitas tanpa persetujuan pelanggan adalah perbuatan melawan hukum. “Hak subjektif pelanggan dilanggar oleh Telkomsel.”
Lebih jauh, David menunjuk ketentuan Pasal 1 butir 4 dan butir 5 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 10/Per/M.Kominfo/3/2007 tentang Penggunaan Fitur Berbayar Jasa Telekomunikasi. Isinya menyatakan bahwa fitur berbayar adalah fasilitas layanan tambahan dikenakan biaya yang diberikan oleh penyelenggara telekomunikasi atas persetujuan pelanggan.
Masih merujuk pada peraturan yang sama pada Pasal 2 butir 3 David juga menunjukkan kewajiban hukum Telkomsel sebagai penyelenggara telekomunikasi. Yaitu wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dan atau dengan layanan SMS dari pelanggan untuk mengaktifkan fitur berbayar.
Dikatakan David, seharusnya Telkomsel mendapat persetujuan terlebih dulu dari pelanggan untuk mengaktifkan fitur berbayar seperti ini. Bukannya sepihak mengaktifkan dan lantas memaksa pelanggan untuk melakukan unreg.
Dipidanakan
Aksi penipuan dan pencurian pulsa juga membuat DPR geram. Anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo mengkritik sikap Menkominfo Tifatul Sembiring terkait kasus tersebut. Menurutnya, sikap menteri asal PKS itu ‘lembek’. Dia meminta kepolisian untuk mengusut kasus itu hingga tuntas. “Menkominfo tidak tegas. Jangan-jangan mereka dapat ‘kick back‘ dari praktik curang itu,” ujar politisi PDIP ini.
Menurut Tjahjo, kasus pencurian pulsa bisa diproses dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Beleid tersebut menyatakan, barang siapa yang mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara maksimum lima tahun.
“Kata ‘mengambil barang orang lain’ dalam Pasal 362 KUHP sudah diperluas tafsirannya. Tidak hanya mengambil secara ‘fisik’. Dalam yurisprudensi hukum pidana ‘pencurian aliran listrik’ dengan menyambungkan kawat dari tiang listrik ke rumah kita, dia dianggap mencuri. Analogi pencurian pulsa bisa digunakan,” tegasnya saat rapat dengan Menkominfo, Senin (10/10).
Tjahjo berpendapat tindakan penipuan dan pencurian pulsa itu murni kriminal. Operator provider bisa diusut secara pidana dan pemerintah wajib memberikan jaminan perlindungan kepada masyarakat. Menurutnya, kejadian semacam ini tidak boleh dibiarkan karena ini sudah menjadi tugas pemerintah.
Sementara itu, Menkominfo Tifatul Sembiring menyatakan pemerintah tidak bisa mengatur secara penuh perusahaan penyedia konten (content provider) telepon seluler. Dia beralasan, tidak ada peraturan perundangan-undangan yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk itu. Di Kementerian, content provider hanya terdaftar. “Pemerintah tidak bisa mengontrol secara penuh karena tidak ada aturannya,” ujarnya.
Menurut Tifatul, masalah SMS premium, yang diduga menjadi alat pencurian pulsa, telah diatur dalam Peraturan Menkominfo Nomor 01 Tahun 2009. Namun, katanya, dalam peraturan itu content provider hanya punya kewajiban mendaftar. Dia menjelaskan, content provider hanya dikontrol oleh operator lewat sejumlah perjanjian kerja sama. Untuk itu, pihaknya hanya bisa meminta kepada operator untuk mem-blacklist content provider yang bermasalah.
Dia mengakui, peraturan yang terbit pada tahun 2009 itu memang banyak mendapat tentangan dari sejumlah pihak. Bahkan, peraturan itu sedang di-judicial review saat ini. Lebih jauh, Tifatul berjanji akan menemui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri untuk mengusut masalah ini. “Kalau ada fakta penyedotan pulsa, polisi yang mengusut karena itu termasuk perbuatan kriminal,” tandasnya.